Terimah kasih atas kunjungan saudara ke blog saya ini, mudah-mudah bermanfaat. Jazakumullah khairan katsiran

Jumat, 24 Februari 2012

BAB XIII SIFAT-SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN

?    Sifat Tuhan
Apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak ?
1.    Mu’tazilah
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.  Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).  Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya.

2.    Asy’Ariyah
Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya, sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.
Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.  Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.

3.    Maturidiyah Bukhara
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil. 

4.    Maturidiyah Samarkand
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.

?    Antropomorphisime
1.    Mu’tazilah
Dalam pandangan Mu'tazilah, Tuhan adalah zat yang tidak mungkin menempel pada-Nya apalagi ada di dalam zat (esensi)-Nya sesuatu yang lain, termasuk sifat-sifat. Dengan mengatakan bahwa ada sifat pada esensi dan eksistensi Tuhan, sama dengan menambahkan esensi lain pada esensi Tuhan dan itu berarti akan "menodai" keesaan-Nya. Bagi Mu'tazilah, sifat-sifat Tuhan bukanlah eksistensi hypostatik yang berdiri sendiri dan berbeda dengan esensi Tuhan, melainkan sifat-sifat itu adalah esensi Tuhan itu sendiri.  Sifat juga bukan aksiden (sesuatu)  yang terdapat di luar esensi Tuhan, sebab jika sifat adalah aksiden di luar esensi Tuhan akan bermuara pada pemahaman bahwa Tuhan adalah jauhar (substansi) yang di dalamnya terdapat aksiden-aksiden.  Dan jika begitu, Tuhan tidak lagi esa, dan itu adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip monoteisme dan ketauhidan dalam Islam. Karena itu, dalam pandangan Mu'tazilah, sifat-sifat itu adalah Tuhan itu sendiri. Sifat dan Tuhan tidak bisa dipahami sebagai dua substansi yang berbeda.

2.    Asy’Ariyah
Kaum Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, dan hal tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Adanya sifat-sifat Tuhan itu ditunjukkan oleh perbuatan-perbuatan-Nya, seperti Tuhan Mengetahui menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat Mengetahui (ilmu), Tuhan menciptakan menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat qudrah (kemampuan), dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azaliyah (ada begitu saja) di dalam esensi Tuhan, tetapi sifat itu bukanlah esensi Tuhan. Dengan kata lain, sifat-sifat itu tidaklah sama dengan esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi Tuhan itu sendiri. Kaum Asy'ariyah ingin mengatakan bahwa sifat, meskipun ada dalam esensi Tuhan, tetapi tidak menyebabkan adanya "yang banyak" dalam esensi-Nya, sebab sifat adalah berbeda dengan esensi Tuhan itu. Dikatakan "banyak" jika sifat itu menjadi bagian dari esensi Tuhan. Bagi Asy'ariyah, sifat adalah sesuatu yang "dimiliki" oleh Tuhan, dan itu tidak memberikan pengaruh, baik menambah atau pun mengurangi, pada esensi-Nya.

3.    Maturidiyah Bukhara
Tangan Tuhan adalah sifat bukan anggota tubuh. Sama dengan sifat-sifat lain, sperti pengetahuan, daya , dan kemampuan.

4.    Maturidiyah Samarkand
Mata, tangan, muka tuhan adalah kekuasaan tuhan dan tuhan tidak memerlukan anggota tubuh.

?    Melihat Tuhan

1.    Mu’tazilah 
Karena Tuhan bersifat Imamateri , maka Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat (QS. Al-An'am : 104)

2.    Asy’Ariyah
Menurut asyariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.

3.    Maturidiyah
Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud, meskipun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.

?    Sabda Tuhan

1.    Mu'tazilah
Sabda buikanlah sifat tapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian Al-Qur'an tidak bersifat kekal tapi bersifat baru dan diciptakan Tuhan yang tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat.

2.    Asy'ariyah
Sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Sabda juga bermakna abstrak dan tidak tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun dalam arti kiasan sedang sabda yang sebenarnya apa yang terletak dibalik yang tersusun (QS. An-Nahl : 40)

3.    Maturidiyah
Sependapat dengan Asy’Ariyah, sabda Tuhan atau Al qur’an adalah Kekal , satu, ridak
terbagi , tidak bahasa arab, atau Syriak, tetapi di ucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.

BAB XII IMAN DAN KUFUR

?    PENGERTIAN
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan  kufur  juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan).
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1.    Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2.    Amal, perbuatan baik atau patuh.
3.    Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.    Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
?? ??? ???? ????? ??????? ???? ??? ?? ????? ??????? ??? ?? ????? ?????? ????? ???? ???????? (???? ????)
Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah”(H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
?    Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.

?    Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak  menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
?    Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.

?    Menurut Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq. Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

?    Menurut Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106. Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya

?    Menurut Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat ayat 14. Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260.
Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya.
Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.    

Iman Dapat Bertambah atau Berkurang ?
Iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (Qs. Al-Mudatstsir: 31)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah? Ada beberapa sebab, di antaranya:
1.    Mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan nama-nama (asma’) dan sifat-sifat-Nya.
Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.
2.    Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah.
Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman: Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan.” (Qs. Adz-Dzariyat: 20-21)
3.    Banyak    melaksanakan    ketaatan.
Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi’liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
1.    Jahil terhadap asma’ Allah    dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari’fatullah seseorang tentang asma’ dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
2.    Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar’iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
3.    Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman.” [Al-Hadits].
4.    Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta’atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa.

?    KUFUR

1.    Pengertian
Kufur Secara bahasa, kufur artinya menutupi, sedangkan menurut terminology syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt, atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur sekedar kufur.
2.    Pembagian
Kufur terbagi menjadi dua, yaitu kufur akbar (kufur besar) dan kufur ashgar (kufur kecil)
a.    Kufur Akbar adalah kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur akbar ini ada lima macam :
a)    Kufur karena mendustakan. Allah swt berfirman :”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?” (QS. 29:68)
b)    Kufur karena enggan dan sombong, padahal ia tahu dan membenarkannya. Allah berfirman :”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat :”Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. 2:34)
c)    Kufur karena ragu. Allah berfirman :”Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata :”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (QS. 18:35-36). Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya : “Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku”. (QS. 18:37-38)
d)    Kufur karena berpaling, dalilnya adalah firman Allah swt :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”. (QS. 46:3)
e)     Kufur karena nifaq, dalilnya firman Allah :”Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti”. (QS. 63:3)
Kufur nifak terdiri atas tiga jenis :
•    Nifak amali: semuanya masuk kategori nifak asghar, seperti tentang tanda-tanda kenifakan yang disebutkan dalam hadits. nifak ini terdiri atas lima perbuatan :
?    Jika bercakap ia berbohong
?    Jika berjanji ia mungkir
?    Jika diberi amanah ia khiyanat
?    Jika berkelahi ia dendam
?    Jika bersumpah ia menipu
•    Nifak i'tiqadi asghar, seperti kecintaan hati kepada selain Allah, kecintaan yang syirik namun tidak sampai menjadikannya kafir , ada enam perbuatan :
?    Mendustakan yang datang dari Allah
?    Mendustakan sebagian dari apa yang dari Allah
?    Mendustakan Rasulullah atau apa yang dari Rasulullah
?    Mendustakan sebagian apa yang datang dari Rasulullah
?    Benci terhadap kejayaan islam
?    Gembira dengan kemunduran islam

b.    Kufur Ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali adalah dosa-dosa yang disebut dalam al-Quran dan as-sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
Contohnya :
1)    kufur nikmat sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 16:83).
2)    Termasuk juga membunuh orang muslim, Rasulullah SAW bersabda :”Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”.
3)    Termasuk juga bersumpah dengan selain Allah, Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik”. Para pelaku dosa-dosa tersebut bukan menjadi kafir, walaupun dalam redaksi hadits disebut kafir



BAB XI PERBUATAN HAMBA DAN KEKUASAAN MUTLAK TUHAN

?    PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah. Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri.
Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka disini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ? apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?

?    Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat.
Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.

?    Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat. Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”

?    Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya. Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.

?    Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya.
 Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.

Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

?    KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN

?    Aliran Mu’tazilah
Kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. 

?    Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariah, percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. 

?    Aliran Maturidiyah
Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah:
a)    Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b)    Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c)    Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.

?    Prof. Harun Nasution
Tentang hal ini Harun mambagikan menjadi dua corak dalam teologi yang pertama adalah mereka yang menganggap bahwa akal mempunyai daya yang amat besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, sehingga kekuasaan dan kehendak tuhan tidak lagi mutlak,kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan maka tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia. 

BAB X AKAL DAN WAHYU I & II

?    PENDAHULUAN
Menurut islam terdapat dua jalan untuk memperoleh pengetahuan yaitu wahyu dan akal.
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu kebenarannya bersifat mutlak, sedangkan yang diperoleh akal bersifat relative. Dari dua jalan tersebut muncul masalah, diantaranya :

?    Bagaimana kedudukan pengetahuan hasil akal dibanding pengetahuan dari wahyu ?
?    Dapatkah akal menandingi wahyu ?
?    Haruskah akal tunduk kepada wahyu ?
?    Kalau tunduk, bagaimana jika terjadi pertentangan antara pengetahuan hasil akal dengan wahyu ?
?    Pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya hasil akal atau wahyu ?

Dalam kaitan dengan agama muncul pertanyaan :

?    Sejauh mana akal dapat menerima pengetahuan keagamaan ?
?    Kalau akal dapat menerima pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungi wahyu ?
?    Haruskah akal dengan wahyu bertentangan ?
?    Haruskah agama dengan falsafah bermusuhan ?
?    Haruskah agama dengan ilmu pengetahuan berlawanan ?

?    PENGERTIAN
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.

Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:

Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.  Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu  berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:

•    Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
•    Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam  materi,  sedang akal  teoritis  kepada  alam  metafisik.  Dalam  diri  manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang  terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak  meneruskan arti-arti,  yang  diterimanya  dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis.  Tetapi  kalau  ia  teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.

?    WAHYU
Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk  suatu agama samawi.

Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata, “Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan.”
Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari “langit”.

Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.
?     Akal dan Wahyu Menurut beberapa Aliran
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.



?    Aliran Mu’tazilah

Sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

?    Aliran Asy’ariyah

 Sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.

Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.

Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.


?    FUNGSI WAHYU
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal  manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.

Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.

a.    Muktazilah

Wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.

b.    Asy’Ariyah

Wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.

c.    Al Maturidiyah

Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.  Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.





AKAL DAN WAHYU II

?    PENGERTIAN

Akal dan wahyu adalah alat untuk mengenal tuhan.
Akal  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar. Wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya.

Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan, diungkapkan. Ia adalah pencerahan, sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran. Setiap gagasan yang di dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia memperkaya pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia. Allah sendiri telah memberikan gambaran yang jelas mengenai wahyu ialah seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 16 yaitu:

 “Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”

Menurut aliran teologi akal dapat sampai kepada Tuhan.

Masalahnya adalah samapai dimana kemampuan akal manusia mengetahui Tuhan, dan mengetahui kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Sampai seberapa besar fungsi wahyu terhadap dua hal tersebut ?

Persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu dihubungkan dengan dua hal pokok yaitu :
?    Mengetahui Tuhan
?    Soal baik dan jahat

Mengetahui Tuhan terbagi menjadi dua cabang :
?    Mengetahui Tuhan ( husul ma’rofat Allah )
?    Kewajiban mengetahui Tuhan ( wujud ma’rifah Allah )

Soal baik dan jahat terbagi menjadi dua cabang :
?    Mengetahui baik dan jahat ( al husn wal qubh )
?    Kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat ( I’tinaq al hasan wa ijtinab al qabih ( al tahsin wa al taqbih ) )


?    PENDAPAT  MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH

?    Mu’tazilah
Bagi kaum mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
a.    Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib.
b.     Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal
c.     Dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi  yang jahat adalah pula wajib.  
Dari beberapa pendapat ulama mu’tazilah diantaranya adalah Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan juga al-Syahrastani dapat disimpulkan bahwa jawaban kaum mu’tazilah atas keempat masalah pokok tersebut dapat diketahui oleh akal.
?    Asy’ariah
Dari aliran assy’ariah, al-Asy’ari menolak bagian besar dari pendapat kamu mu’tazilah di atas.
a.    Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.
b.    Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.
c.    Akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya.
d.    Dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patut kepada Tuhan akan memperoleh apa dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman. Hal senada juga diungkapkan oleh para ulama Asy’ariah diantaranya adalah  Al Baghdadi, dan juga pendapat al-Gazali.
Al Baghdadi :

a.    Sebelum turun wahyu belum ada kewajiban dan larangan bagi manusia.
b.    Kalau orang percaya Tuhan sebelum turun wahyu, maka ia mukmin tetapi tidak berhak mendapat pahala
c.    Kalau orang tidak percaya sebelum ada wahyu, ia kafir tapi tidak harus dapat hukuman.


Al Ghazali :

a.    Akal tidak membawa kewajiban bagi manusia
b.    Kewajiban di tentukan oleh wahyu
c.    Kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu
d.    Kata wajib adalah sifat dari perbuatan. Suatu perbuatan bersifat wajib kalau perbuatan itu tidak dilakukan , perbuatan itu menimbulkan kemudharatan bagi manusia di akhirat. Maka hal tersebut hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
e.    Soal baik dan buruk:
1.    Suatu perbuatan disebut baik kalau selesai dengan maksud pembuat. Sesuai dengan tujuan
2.    Baik kalau sesuai dengan tujuan masa depan yaitu akhirat. Tujuan akhirat hanya dapat diketahui oleh wahyu.
f.    Soal wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam, sehingga dapat diketahui oleh akal.

Objek pengetahuan ada tiga :

1.    Diketahui dengan akal saja
2.    Diketahui dengan wahyu saja
3.    Diketahui dengan wahyu dan akal

BAB IX ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU AKIDAH III

SYIAH, WAHABIYAH DAN SALAFIYAH

Aliran Syiah
Pengertian dan kemunculannya
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini ialah para pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada kaum muslimin yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturuan Nabi Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW.
Para pengikut ali yang disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin Yasir.  Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affankemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak  di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah 
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :
1.    al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.


2.    al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
3.    al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
4.    al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
5.    al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.

?    Aliran Wahabiyah
Sejarah Aliran Wahabiyah
Dalam berbagai literaur dinyatakan, Wahabiyah seringkali disebut juga dengan “muwahhidun” atau “unitarianisme” yang kali pertama dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M). Istilah ini menunjuk pada gerakan Islam Sunni yang bertujuan pemurnian Islam (purify Islam) dengan bersumber pada praktek-praktek keagamaan yang berlaku umum pada era Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Nama aliran Wahabiyah diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Dia berasal dari keluarga Sunni dari klan Tamim yang menganut madzab Hambali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H./1700 M. Salah satu ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim yang mempraktikkan tawassul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain-lain.

Wahabiyah juga menunjuk identitasnya sebagai ideologi dan bahkan tradisi. Yang berarti, Wahabiyah bukan hanya merupakan madzab resmi yang diberlakukan di tempat tertentu (Saudi Arabia), dan pada saat yang sama, keberadaannya diakui oleh mayoritas penduduk negara tersebut.

Wahabiyah sejak awal mengklaim hadir ke ruang publik untuk mengudar kebali “Islam asli” yang sebelumnya telah tutup rapat oleh beragam religius penuh bid’ah dan kesesatan. Bagi Wahabiyah, Islam asli menunjuk pada artikulasi religiousitas Islam yang dipercayai, dianut dan dipraktekkan oleh Nabi, Sahabat dan Ttabi’in –yang Islam hidup pada aba ke-3 Hijriyah. Sebaliknya, gerakan ini meyakini bahwa releigiousitas Islam yang hadir sesudah masa tabi’in itu bukanlah Islam asli, dan sebab itu harus ditinggalkan. Selain itu, tidak dibenarkan mengikuti dan patuh kepada pendapat ulama setelah era tabi’in (ijma’u la-ulama), karena pendapat mereka tidak merupakan bagian dari sumber hukum Islam.

Ajaran Aliran Wahabiyah
Purifikasi Islam atau Islam asli diterjemahkan oleh Wahabiyah ke dalam berbagai ragam doktrin teologi (aqidah) Islam. Nasution menyebut, paling tidak terdapat delapan doktrin yang merupakan prinsip dasar aqidah Wahabiyah.
1.    Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan semata, dan oleh sebab itu, setiap orang menyambah selain Tuhan adalah musyrik sehingga sah dibunuh.
2.    Sebagian besar penganut faham tauhid. Alasannya, mereka telah terjerumus ke dalam lubang meminta pertolongan kepada syekh atau wali dan dari kekuatan ghaib. Muslim yang demikian ini, bagi Wahabiyah juga termasuk dalam golongan musyrik dan tentu saja halal dibunuh.
3.    Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga dapat dikatagorikan telah berbuat kemusyrikan.
4.    Meminta syafaat selain kepada Allah juga termasuk syirik.
5.    Muslim yang bernadzar kepada selain Allah juga termasuk musyrik.
6.    Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an, Hadits dan Analogi (Qiyash) merupakan kekafiran.
7.    Tidak mempercayai Qada’ dan Qadar termasuk dari kekafiran.
8.    Menggunakan ta’wil dalam menafsirkan al-Qur’an termasuk kafir.

Dalam perkembangannya, prinsip aqidah Alian Wahabiyah diterjemahkan ke dalam beragam varian perilaku keagamaan. Abu Zahra’, misalnya, mencatat beragam perilaku keagamaan yang merupakan penjabaran dari prinsip dasar. Di antaranya ada tujuh prinsip:

1.    Mereka (Wahabiyah) tidak cukup menjadikan ibadah sebagaimana dalam tuntunan Islam yag terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits atau yang disebutkan Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, mereka menginginkan agar wawasan Islam. Mereka mengharamkan rokok sehingga orang awam dari mereka beranggapan bahwa perokok itu musyrik. Mereka seperti kaum muslim Khawarij yang mengkafirkan kaum muslim yang berbuat dosa besar.
2.    Pada mulanya mereka mengharamkan kopi dan sejenisnya, kemudian akhirnya mereka memperingan hal itu.
3.    Kaum Wahabiyah tidak terbatas pada da’wah semata, tetapi luas lagi mereka mengasah pedang untuk memerangi para penentangnya dengan alasan memerangi bid’ah-bid’ah adalah suatu kemungkaran yang harus diperangi, harus diluruskan dengan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan juga untuk melaksanakan firman Allah “Kamu adalah umat yang terbaik dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.
4.    Gerakan ini menghancurkan setiap bangunan-bangunan kuburan yang mereka dapatkan, baik di desa maupun di kota.
5.    Tidak hanya itu, mereka mendatangi kuburan dan memporakporandakan kuburan. Ketika kekuasaan jatuh ditangan mereka di wilayah Hijaz, mereka menghancurkan kuburan para sahabat dan meratakannya dengan tanah, sehingga tidak tampak hingga kini kecuali tanda penunjuk nisan. Mereka hanya memperbolahkan berziarah ke kuburan dengan mengucapkan salam atas ahli kubur dan mengucapkan assalamu’alaika.
6.    Mereka terikat hal-hal kecil yang tidak mengandung keberhalaan, tetapi mereka mengharamkannya, seprti mengharamkan photografi, hal seperti itu dapat kita jumpai dalam fatwa-fatwa dan risalah para ulama’nya meskipun pemerintah tidak mengikui fatwa-fatwa (tersebut).
7.    Mereka meluaskan pengertian bid’ah secara aneh, sehingga meletakkan tutup di atas kuburan nabi dianggap bid’ah.
Kajian Doktrin Aliran Wahabiyah Tentang Tawasul dan Ziarah
Sebagai penganut setia puritanisme Ibnu Taimiyyah merupakan karaktristik yang begitu lekat di Wahabiyah. Dengan semangat kembali ke aqidah salaf, Taimiyyah merumuskan tiga doktrin utama yang dikemudian hari sangat mempengaruhi aliran Wahabiyah. Secara garis besar doktrin tersebut meliputi larangan (haram), bertawassul kepada ulama’, kepada orang yang sudah meninggal, dan berziarah ke makam para wali atau ulama dengan tujuan mencari berkah. Ketiga doktrin tersebut dapat dijabarkan di sini sebagai berikut:

Pertama, doktrin yang megharamkan mendekatkan diri kepada Allah melalui ulama’, orang sholeh atau muslim lainnya. Ibnu Taimiyyah mengawali argumen dengan pendapat Jurjani bahwa “Jadilah anda yang mencari istiqomah bukan yang mencari karomah. Karena jiwamu akan melebihi karomah. Oleh karena itu, istiqomah sangat perlu bagi kita”. Bagi Taimiyyah, pernyataan Jurjani menunjuk secara tegas bahwa, Karomah itu tidak layak untuk dijadikan oleh seorang sholeh sebagai tawasul kepada Allah. Taimiyyah menunjuk pada perilaku Nabi yang menolak memintakan ampunan bagi kaum musyrik, meskipun mereka adalah kaluarga besarnya.

Kedua, meminta pertolongan kepada Allah (istighatsah) melalui orang masih hidup, bagi Ibnu Taimiyah, mutlak dilarang dan haram hukumnya. Bagi Ibnu Taimiyyah, Nabi SAW melarang beristighatsah kepadanya. Diriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani bahwa seorang munafik menyakiti Nabi SAW. Maka Abu Bakar berkata kepada para sahabat: “Marilah kita berdoa dengan beristighatsah dengan Nabi SAW. Maka Nabi menjawab: “Minta pertolongan bukanlah kepada aku tetapi kepada Allah”.

Tidak hanya itu, meminta pertolongan juga sama haramnya. Ibnu Taimiyyah menegaskan kepada setiap muslim tidak boleh meminta sesuatu kepada nabi-nabi dan orang-orang sholeh sesudah mereka meningal dunia, meskipun seandainya mereka itu sangup mendoakan orang-orang hidup.

Ketiga, Ibnu Taimiyyah juga mengharamkan umat muslim yang berziarah makam nabi, auliya’, ulama dan lainnya dengan tujuan meminta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah. Larangan ini didasarkan atas pernyataan nabi yang melarang makamnya dijadikan masjid. Larangan nabi ini dipahami Ibnu Taimiyyah sekaligus mengandaikan larangan berziarah kubur.
Terdapat catatan penting yang mesti diudar dari religipusitas Wahabiyah di atas. Bahwa, begitu mudah memberikan klaim kufur kepada muslim sekalipun yang dipahami berseberangan secara religious dengan Wahabiyah. Mudahnya klaim pengkafiran terhadap sesama muslim diperkuat oleh perilaku keagamaan Wahabiyah yang selalu menarik dirinya ke dalam posisi opisisi biner (berlawan) dengan muslim lainnya. Bahkan, diri Wahabiya selalu diandaikan sebagai arus yang selalu benar dan harus diikuti. Sementara, yang lain –meskipun muslim sekalipun, jika tidak berkesesuaian dengan Wahabiyah, maka masuk dalam kelompok “musyrik”, “kufur” dan pasti, “sesat” dan “menyesatkan”.

Kritik terhadap Aliran Wahabiyah
Demikianlah aqidah aliran Wahabiyah, sebagai kelanjutan dari metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokoknya dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam rangka purinatisme Islam atau Islam asli, mereka melakukan berbagai ragam varian dalam memerangi masalah bid’ah, tahayul dan kurafat.

Dalam hal kajian ini, yang menjadi pokok inti permasalahan adalah mengenai “larangan tawasul dan berziarah” yang dipakai dalam aqidah aliran Wahabiyah. Masalah bertawasul sangat bersinggungan sekali pendapat Wahabiyah, karena apa yang diharamkan itu tidak mengandung alasan yang kuat argumentative. Kita kembali pada diri kita, apa benar kita berwasilah itu untuk mendapatkan berkah dari hal yang kita tawasuli. Tapi pandangan Wahibiyah kurang mendetailkan tujuan dari tawasul atau bid’ah yang lain. Mereka hanya memandang sebuah perkataan nabi dari arti tekstual saja.

Bahkan, pendapat mereka mengenai tawasul dan berziarah kubur tidak menganalogikan sebuah permisalan antara orang biasa dan seorang pejabat terkenal. Kita andaikan saja, jika kita hendak bertamu untuk menemui seorang pejabat terkenal tentunya sangat kesulitan sekali jika kita sebagai seorang yang biasa. Sehingga seorang sebagai perantara dalam hal ini juga sangat diperlukan sekali. Istilah seperti ini bisa juga digunakan dalam menghadap Tuhan. Bisa saja kita bertamu kepada Tuhan tanpa adanya tawasul (perantara), tapi syarat yang harus dipenuhi adalah kita harus sudah menjadi penjabat. Artinya kita sudah mempunyai tingkat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi.

Sangatlah tidak mungkin sekali adanya tawasul. Jika kita sudah bisa berenang sendiri dan membuat kapal sendiri kenapa harus numpang pada kapal orang lain. Setuju saja tanpa tawasul tapi introspeksi diri juga perlu dilakukan dulu sebelum berenang sendiri.

Tujuan dari adanya tawasul sebenarnya adalah untuk menhantarkan kita untuk sampai pada Tuhan. Karena hal itu sangat perlu sekali, sebab seorang yang kita jadikan wasilah adalah salah satu orang yang dekat dengan Tuhan, dekat dengan Pejabat, sehingga kita bisa cepat sampai pada tujuan yakni bertamu kepada Tuhan. Selain itu juga mengenai berziarah kubur yang dimiliki oleh para peziarah ketika berziarah ke makam para Muslim biasanya memiliki tujuan untuk mengenang saudara mereka atau mengigatkan mereka untuk mensuritauladani apa yang telah dilakukan oleh para saudara atau para wali yang telah meninggal dunia.

Tujuan-tujuan di atas sama sekali tidak bisa dijadikan alasan bagi Wahabiyah untuk mengkafirkan orang lain. Sebab ketika berziarah, orang bodoh pun, apalagi orang alim, tidak mungkin bertujuan untuk menyembah-nyembah kubur, atau berkeyakinan bahwa penghuni kubur tersebut mampu memenuhi hajat mereka, atau bahkan merealisasikan hajat tersebut. Nabi telah bersabda:
 “Aku telah melarang kalian untuk menziarahi kubur, ingat! Sekarang berziaralah kalian. Sesungguhnya ziarah bisa menjadikan zuhud dunia dan mengingatkan akhirat”.

Selain itu juga dalam melakukan wasilah atau bertawasul yang diterangkan dalam hadits Nabi, yang itu merupakan suatu jalan untuk bertamu kepada Tuhan, yang mana suatu perantara sangat diperlukan sekali bagi orang yang masih dalam kategori belum tinggi tingkat keimanan dan ketaqwaannya sehingga hal itu sangat perlu. Lebih jelasnya dalam keterangan ini, yang mana tidak diragukan lagi, derajat para nabi berada jauh di atas para syuhada. Mereka juga tetap hidup di sisi Tuhan dan diberi riski. Nabi bersabda:
 “Ketika aku diisra’kan aku bertemu dengan Musa. Dia sedang berdiri melakukan sholat di kuburnya”.
“Para Nabi hidup dalam kubur mereka”.
“Barang siapa membaca shalawat kepadaku di dekat kuburku, maka aku akna mendengarkannya. Dan barang siapa membaca shalawat kepadaku di tempat yang jauh maka aku akan menyampaikanya.

Tampak jelas dari keterangan di atas yang menberi penjelasan pada kaum aliran Wahabiyah termasuk aliran yang keras tidak mempunyai karakteristik agama Islam yang toleransi, ramah, dan moderat. Berbagai dalil akurat yang disampaikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak dengan menggunakan alasan yang tidak argumentative. Lebih dari itu, dia justru mengkafirkan kaum Muslim sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk gurunya sendiri.

Sebagai penguat bahwa aliran Wahabiyah bersifat dehumanisme, adalah sebuah cerita dimana aksi-aksi yang dilakukan mereka sekitar abah ke-18, yakni mereka menghancurkan tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali. Kubah Sayyidatuna Khadijah, serta merobohkan masjid Abdullah bin Abbas. Bahkan mereka pernah berencana meratakan makam Nabi, tapi hal itu tidak terjadi. Selain itu juga mereka berencana menutup ka’bah karena mereka beranggapan bukan menyembah Tuhan tapi Berhala, yang disama artikan dengan menyembah berhala.
?    Aliran Salafiyah
Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.
Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an  sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah SWT.
Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun 300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.
Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.
Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali. .
Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini, selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
1.    Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
2.    perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
3.    pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB VIII ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU AKIDAH II

Mu’tazilah

Mu’tazilah lahir pada abad ke 2 H dengan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Tokoh besar aliran ini, Abu Huzail Al-Hallaf :

1. Al-Tauhid (keesaan Tuhan )
2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5. Amar Ma’ruf nahi Munkar.

Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.

Secara harfiayah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan1, yaitu :

Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya. Menurut Abdul Rozak, golongan inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah karena mereka menjaukan diri dari pertikaian masalah Imamah.

Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah inilah yang akan dibahas kemudian. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid.

Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.2

Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya majelis Hasan al-Basri. Setelah ia tahu bahwa itu bukanlah majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu, mereka disebut kaum
Mu’tazilah.3

Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain). Menurut Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa antara Washil dan Hasan al-Basri. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Qais yang waktu itu sebagai gubernur di mesir pada masa Ali, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita).
Dalam suratnya kepada Khalifah, ia menamai golongan yang menjauhkan diri dengan nama Mu’tazilah. Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain seperti Ahl al-Adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid
wa al-adl  yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mereka juga sering disamakan dengan paham Qadariyah yang menganut paham free act dan free will. Selain itu mereka juga dinamai al-Mua’tillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman
Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
 Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu : Al-Makmun (198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).


?    Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah.

Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah ini juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah. Yaitu :

•    At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik. Yaitu :

a.    Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak berpemulaan).

b.    Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.

•    Al-Adl
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain:

a.    Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.

b.    Berbuat baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan penganiaya, karena hal tersebt tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat terhadap seseorang dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi manusia.

c.    Mengutus Rasul
Mengutus rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut :

1.    Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia.
2.    Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29).
3.    Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

•    Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Al-Wa’ad wa al-Waid berarti janji da ancaman, Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Yaitu untuk member pahala surge bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk member ampunan orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.

•    Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai orang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuahan, dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Pelaku dosa besar juga tidak bisa dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik.

•    Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi an-Munkar berarti menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam paham Mu’tazilah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin untuk melakukan hal ini. Yaitu :

1.    Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
2.    Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan oleh orang.
3.    Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
4.    Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.


Maturidiah

Abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Uzbekistan (sekarang). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/847-861 M. Ia sendiri wafat pada tahun 333 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan pahampaham teologisnya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem teologi Abu Mansur dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.4

?    Ajaran-ajaran Al-Maturidy:

a.    Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.

b.    Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan, dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang telah menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.

c.    Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

d.    Sifat Tuhan5
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya pada antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).

e.    Melihat Tuhan5
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun Ia immateri. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.    Kalam Tuhan6
Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsy (sabda yang sebenarnya). Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahar (hadis).



g.    Pengutusan Rasul
Akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajibankewajiban. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah dibebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

h.    Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun dia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar. Sedangkan amal adalah penyempurna iman.
Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.


Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ungkapan Ahl Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari Syiah. Dalam artian ini, Mu’tazilah dan As’ariyah masuk dalam golongan Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah mazhab dalam barisan As’ariyah dan merupakan lawan dari Mu’tazilah. Selanjutnya, trem Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran As’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran Mu’tazilah.

Asy’ariah
Aliran Asy’ariah muncul atas keberanian Abu Hasan Al-Asy’ary yang menentang paham Mu’tazilah. Abu hasan Al-Asy’asy adalah seorang pengikut M’tazilah sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba dia mengumumkan diri dihadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dia keluar dari golongan Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ary meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ary yang telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw sebanyak tiga kali pada bulan Ramadhan. Namun menurut pendapat yang lain, al-Asy’ary keluar dari Mu’tazilah karena adanya keraguan ketika dia mempertanyakan hal tentang mukmin dewasa, anak-anak, dan kaum kafir kepada al-Jubba’i.7

?    Ajaran Asy’ariyah8:

1.    Tuhan mempunyai sifat. Untuk mwngetahui sesuatu tidak dengan SifatNya tetapi dengan zatNya. Sifat tersebut azali. Qadim berdiri diatas zat Allah. Sifat ini bukan zat Tuhan.
2.    Al-Quran bukan diciptakan (makhluk), sebab tidak menggunakan “kun” Alquran bersifat Qadim (An Nahl 40)
3.    Tuhan dapat dilihat di akhirat (Al Qiyamah 22-23)
4.    Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh manusia dengan teori al kasab (Ash Shaffat 96)
5.    Tuhan bersifat mutlak, berbuat sekehandak-Nya. Itulah sifat adil Allah.
6.    Antropomorphisme: Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai wajah, tangan, mata, tapi bentuknya beda dengan makhluk.
7.    Keadilan Tuhan: Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk memasukkan ke surge atau neraka. Semua atas kehendak Tuhan.
8.    Pelaku dosa besar: Pelaku dosa besar tetap mukmin, tidak kafir dan tidak diantara dua tempat. Di akhirat terserah Allah yang menentukan.

Referensi
1.    Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal 77
2.    Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal 78
3.    Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan. Jakarta: UI Press. 2002. Hal 41
4.    Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan. Jakarta: UI Press. 2002. Hal 76
5.    http://bundahomepage.wordpress.com/aliran-maturidiyah/
6.    http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html
7.    http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
8.    Aminuddin. Modul Aqidah. Jakarta : 2009

BAB VII ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU AKIDAH

KHAWARIJ
A. Pengertian
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana-mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati-hati terhadap firqah ini.

B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij1
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)

Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang-orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar-pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih-lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat-seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang-orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa-apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih-lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al-Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits-hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang Khawarij umurnya masih muda-muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al-Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al-Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al-Masih Ad-Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”1

Al Murji'ah
Al murjiah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).2
Aliran Qadariyah
A. Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.3
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.

2. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
a. QS al-Kahfi: 29
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS Ali Imran: 165
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS ar-Ra'd:11
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.
d. QS. An-Nisa: 111
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.3

Aliran Jabariyah
1. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).4
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.5 Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka
c. QS al-Insan: 30
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.6


2. Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.7 Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.

REFERENSI

1.    http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-khawarij.html
2.    http://id.wikipedia.org/wiki/Murji'ah
3.    http://ahmad-mubarak.blogspot.com/2008/09/ilmu-kalam.html
4.    Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63
5.    Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239
6.    Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335
7.    Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80