Terimah kasih atas kunjungan saudara ke blog saya ini, mudah-mudah bermanfaat. Jazakumullah khairan katsiran

Jumat, 24 Februari 2012

BAB VI SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM

Pengertian Teologi Islam
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“  artinya Ilmu (science, study, discourse), sehingga dapat diartikan bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan.
Sedangkan arti secara terminologi, kata “Theologi“ menurut Collins dalam  “New English Dictionary” adalah : “The Science which treats of the facts an phenomena of religion, and the relations between God and man”( ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia ).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa  “Theologi” ialah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik yang berdasarkan atas kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni manusia.
Adapun pemakaian istilah “Theologi Islam”, yang dimaksud adalah : Ilmu Kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqaid. Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa “Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid” ialah, ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya.1
Menurut A. Hanafi, sebab utama dinamakan “Ilmu Kalam” adalah karena dasar dalil yang digunakan semata-mata dalil akal pikiran, dan dalil naqal (al-qur’an dan hadis) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pertama kali dipakai pada masa khalifah al-Makmun  (bani Abbasiyah) yang wafat tahun 2l8 H. yakni setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang telah memadukannya dengan metode ilmu kalam.
Sehingga dapat disimpulkan disini bahwa, theologi Islam  (ilmu kalam) yang dimaksud adalah, ilmu yang membicarakan di sekitar kepercayaan tentang Tuhan, baik yang berhubungan dengan soal wujud, kalam, keesaan maupun sifat-sifat Tuhan yang didasarkan di atas prinsip-prinsip ajaran Islam.
Awal timbulnya masalah
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.

Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.

Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di masa pemerintahan Khalifah Usman--yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.

Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.

Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.5

Beberapa Pendapat Aliran Teologi Islam
Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan, partisipan atau pendukung, yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Yang mana dalam sejarahnya, golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah. Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah yang mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh. Sebab Ali telah dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah mati, bahkan dianggapnya sebagai Tuhan. Anggapan  Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat berpindah dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta dapat menjelma kedalam tubuh manusia. Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam hal anthropomorphisme sangat dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan mensifatkan Ali dengan sifat ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama Masehi.4
Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah yang disebut juga sebagai aliran Jahamiyah, karena dibangun oleh Jaham bin Sofwan, memiliki ajaran pokok bahwa, manusia dalam melakukan perbuatannya adalah dalam keadaan terpaksa, artinya mereka tidak mempunyai kebebasan menentukan kehendak, sebab yang ada hanyalah kehendak mutlak Tuhan. Dari faham yang demikian ini menjadikan faham Jabariyah sering dilawankan dengan faham Qadariyah.
Adapun faham anthropomorphismenya terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Fahamnya mengenai kalam Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dibentuk oleh Washil bin ‘Atha’ (80-131H/ 699-748 M). Dinamakan Mu’tazilah karena Washil bin ‘Atha’ telah memisahkan diri dari kelompok gurunya yakni Hasan al-Basri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Basri sendiri : ”I’tazala ‘Anna Washil”, (Washil telah memisahkan diri). Sehingga secara etimologi Mu’tazilah dapat diartikan sebagai golongan yang memisahkan diri dari gurunya, karena perbedaan faham dalam sesuatu hal. Kecuali Washil bin ‘Atha’, tokoh Mu’tazilah terkenal lainnya ialah ; Al’Alaf, An-Nazzham, Al-Jubbai, Bisyr bin Al-Mu’tamir, Al-Chayyat, Al-Qadhi Abdul abbar dan Az-Zamaikhsyari. Mereka hampir sama dalam  menyandarkan pendapatnya, yakni menggunakan pemikiran bercorak rasional. Ajaran pokok Mu’tazilah berkisar pada lima prinsip, diantaranya : Tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid ), keadilan (al- ‘Adlu), janji dan ancaman (al-Wa’du wa al-wa’idu), tempat diantara dua tempat (al-Manzilatu baina  al-manzilataini) dan amar ma’ruf nahi munkar.
Adapun pandangan Mu’tazilah terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak dengan keras.  Mengenai ayat-ayat al-Qur’an  yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah (perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Masehi, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai bapak sebelum masa dan jauharnya juga sama. Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak.  Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.


Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah adalah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M. Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad ibn Abdul Wahhab, bahkan  sebagai penganut faham Mu’tazilah yang  berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan keburukan dan lain-lain. Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali ibn Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok  “Ahlu al Sunnah  wa al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab al-Asyi’ary yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“. Kitab tersebut berisi tentang penjelasan soal-soal pokok agama yakni tentang kepercayaan (akidah) ahlu al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi kritik atau penyerangan terhadap aliran Mu’tazilah.
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah sebagai seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu al-Hadis dengan ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu.
Aliran al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H.. Aliran al-Maturidiyah disandarkan pada nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Maturidy, yang lakhir di Maturid, yakni sebuah kota kecil di Samarkand Uzbekistan, dan tahun kelakhirannya tidak banyak diketahui. Al-Maturidy wafat sekitar tahun 332 / 333 H.
Aliran al-Maturidiyah juga bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama dengan aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan percaturan teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah.  Dan dalam perkembangannya aliran al-Maturidiyah pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu Mansur al-Maturidy sedang kelompok Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.
Perbedaan prinsip tentang masalah teologi, kelompok al-Maturiduyah Samarkand agak lebih rasional dan lebih dekat kepada al-Asyi’ariyah, dibandingkan dengan kelompok al-Maturidiyah Bukhara
Referensi

1.    Syech Muhammad Abduhh  , Risalah  al-Tauhid ( Cet.ke-13;al-Manar, 1368 H), h.4.
2.    Budhy Munawar Rachman , Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman ( Cet. Ke-1; Jakarta : Paramadina, 2001 ) , h. 8.
3.    Ali Saifullah H.A., Antara Filsafat dan Pendidikan ( Surabaya : Usaha Nasional, tt. ), h.172.
4.    M.H. Thaba Thaba’i, Shi’ie Islam, di terjemahkan oleh Djohan Efendi dengan judul, Islam Syi’ah : Asal Usul dan Perkembangannya ( Cet. ke- 2 ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1983), h. 37.
5.    http://republika.co.id:8080/berita/50969/Sejarah_Munculnya_Aliran_Teologi_dalam_Islam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar