Terimah kasih atas kunjungan saudara ke blog saya ini, mudah-mudah bermanfaat. Jazakumullah khairan katsiran

Jumat, 24 Februari 2012

BAB VIII ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU AKIDAH II

Mu’tazilah

Mu’tazilah lahir pada abad ke 2 H dengan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Tokoh besar aliran ini, Abu Huzail Al-Hallaf :

1. Al-Tauhid (keesaan Tuhan )
2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5. Amar Ma’ruf nahi Munkar.

Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.

Secara harfiayah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan1, yaitu :

Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya. Menurut Abdul Rozak, golongan inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah karena mereka menjaukan diri dari pertikaian masalah Imamah.

Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah inilah yang akan dibahas kemudian. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid.

Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.2

Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya majelis Hasan al-Basri. Setelah ia tahu bahwa itu bukanlah majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu, mereka disebut kaum
Mu’tazilah.3

Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain). Menurut Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa antara Washil dan Hasan al-Basri. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Qais yang waktu itu sebagai gubernur di mesir pada masa Ali, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita).
Dalam suratnya kepada Khalifah, ia menamai golongan yang menjauhkan diri dengan nama Mu’tazilah. Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain seperti Ahl al-Adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid
wa al-adl  yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mereka juga sering disamakan dengan paham Qadariyah yang menganut paham free act dan free will. Selain itu mereka juga dinamai al-Mua’tillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman
Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
 Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu : Al-Makmun (198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).


?    Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah.

Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah ini juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah. Yaitu :

•    At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik. Yaitu :

a.    Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak berpemulaan).

b.    Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.

•    Al-Adl
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain:

a.    Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.

b.    Berbuat baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan penganiaya, karena hal tersebt tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat terhadap seseorang dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi manusia.

c.    Mengutus Rasul
Mengutus rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut :

1.    Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia.
2.    Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29).
3.    Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

•    Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Al-Wa’ad wa al-Waid berarti janji da ancaman, Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Yaitu untuk member pahala surge bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk member ampunan orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.

•    Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai orang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuahan, dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Pelaku dosa besar juga tidak bisa dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik.

•    Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi an-Munkar berarti menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam paham Mu’tazilah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin untuk melakukan hal ini. Yaitu :

1.    Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
2.    Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan oleh orang.
3.    Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
4.    Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.


Maturidiah

Abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Uzbekistan (sekarang). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/847-861 M. Ia sendiri wafat pada tahun 333 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan pahampaham teologisnya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem teologi Abu Mansur dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.4

?    Ajaran-ajaran Al-Maturidy:

a.    Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.

b.    Perbuatan Manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan, dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang telah menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.

c.    Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

d.    Sifat Tuhan5
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya pada antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).

e.    Melihat Tuhan5
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun Ia immateri. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.    Kalam Tuhan6
Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsy (sabda yang sebenarnya). Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahar (hadis).



g.    Pengutusan Rasul
Akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajibankewajiban. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah dibebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

h.    Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun dia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar. Sedangkan amal adalah penyempurna iman.
Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.


Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ungkapan Ahl Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari Syiah. Dalam artian ini, Mu’tazilah dan As’ariyah masuk dalam golongan Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah mazhab dalam barisan As’ariyah dan merupakan lawan dari Mu’tazilah. Selanjutnya, trem Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran As’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran Mu’tazilah.

Asy’ariah
Aliran Asy’ariah muncul atas keberanian Abu Hasan Al-Asy’ary yang menentang paham Mu’tazilah. Abu hasan Al-Asy’asy adalah seorang pengikut M’tazilah sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba dia mengumumkan diri dihadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dia keluar dari golongan Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ary meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ary yang telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw sebanyak tiga kali pada bulan Ramadhan. Namun menurut pendapat yang lain, al-Asy’ary keluar dari Mu’tazilah karena adanya keraguan ketika dia mempertanyakan hal tentang mukmin dewasa, anak-anak, dan kaum kafir kepada al-Jubba’i.7

?    Ajaran Asy’ariyah8:

1.    Tuhan mempunyai sifat. Untuk mwngetahui sesuatu tidak dengan SifatNya tetapi dengan zatNya. Sifat tersebut azali. Qadim berdiri diatas zat Allah. Sifat ini bukan zat Tuhan.
2.    Al-Quran bukan diciptakan (makhluk), sebab tidak menggunakan “kun” Alquran bersifat Qadim (An Nahl 40)
3.    Tuhan dapat dilihat di akhirat (Al Qiyamah 22-23)
4.    Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh manusia dengan teori al kasab (Ash Shaffat 96)
5.    Tuhan bersifat mutlak, berbuat sekehandak-Nya. Itulah sifat adil Allah.
6.    Antropomorphisme: Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai wajah, tangan, mata, tapi bentuknya beda dengan makhluk.
7.    Keadilan Tuhan: Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk memasukkan ke surge atau neraka. Semua atas kehendak Tuhan.
8.    Pelaku dosa besar: Pelaku dosa besar tetap mukmin, tidak kafir dan tidak diantara dua tempat. Di akhirat terserah Allah yang menentukan.

Referensi
1.    Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal 77
2.    Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal 78
3.    Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan. Jakarta: UI Press. 2002. Hal 41
4.    Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan. Jakarta: UI Press. 2002. Hal 76
5.    http://bundahomepage.wordpress.com/aliran-maturidiyah/
6.    http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html
7.    http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
8.    Aminuddin. Modul Aqidah. Jakarta : 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar