Terimah kasih atas kunjungan saudara ke blog saya ini, mudah-mudah bermanfaat. Jazakumullah khairan katsiran

Jumat, 24 Februari 2012

BAB XII IMAN DAN KUFUR

?    PENGERTIAN
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan  kufur  juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan).
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1.    Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2.    Amal, perbuatan baik atau patuh.
3.    Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.    Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
?? ??? ???? ????? ??????? ???? ??? ?? ????? ??????? ??? ?? ????? ?????? ????? ???? ???????? (???? ????)
Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah”(H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
?    Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.

?    Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak  menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
?    Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.

?    Menurut Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq. Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).

?    Menurut Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106. Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya

?    Menurut Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat ayat 14. Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260.
Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya.
Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.    

Iman Dapat Bertambah atau Berkurang ?
Iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (Qs. Al-Mudatstsir: 31)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah? Ada beberapa sebab, di antaranya:
1.    Mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan nama-nama (asma’) dan sifat-sifat-Nya.
Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.
2.    Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah.
Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman: Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan.” (Qs. Adz-Dzariyat: 20-21)
3.    Banyak    melaksanakan    ketaatan.
Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi’liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
1.    Jahil terhadap asma’ Allah    dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari’fatullah seseorang tentang asma’ dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
2.    Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar’iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
3.    Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman.” [Al-Hadits].
4.    Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta’atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa.

?    KUFUR

1.    Pengertian
Kufur Secara bahasa, kufur artinya menutupi, sedangkan menurut terminology syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt, atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur sekedar kufur.
2.    Pembagian
Kufur terbagi menjadi dua, yaitu kufur akbar (kufur besar) dan kufur ashgar (kufur kecil)
a.    Kufur Akbar adalah kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur akbar ini ada lima macam :
a)    Kufur karena mendustakan. Allah swt berfirman :”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?” (QS. 29:68)
b)    Kufur karena enggan dan sombong, padahal ia tahu dan membenarkannya. Allah berfirman :”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat :”Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. 2:34)
c)    Kufur karena ragu. Allah berfirman :”Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata :”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (QS. 18:35-36). Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya : “Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku”. (QS. 18:37-38)
d)    Kufur karena berpaling, dalilnya adalah firman Allah swt :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”. (QS. 46:3)
e)     Kufur karena nifaq, dalilnya firman Allah :”Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti”. (QS. 63:3)
Kufur nifak terdiri atas tiga jenis :
•    Nifak amali: semuanya masuk kategori nifak asghar, seperti tentang tanda-tanda kenifakan yang disebutkan dalam hadits. nifak ini terdiri atas lima perbuatan :
?    Jika bercakap ia berbohong
?    Jika berjanji ia mungkir
?    Jika diberi amanah ia khiyanat
?    Jika berkelahi ia dendam
?    Jika bersumpah ia menipu
•    Nifak i'tiqadi asghar, seperti kecintaan hati kepada selain Allah, kecintaan yang syirik namun tidak sampai menjadikannya kafir , ada enam perbuatan :
?    Mendustakan yang datang dari Allah
?    Mendustakan sebagian dari apa yang dari Allah
?    Mendustakan Rasulullah atau apa yang dari Rasulullah
?    Mendustakan sebagian apa yang datang dari Rasulullah
?    Benci terhadap kejayaan islam
?    Gembira dengan kemunduran islam

b.    Kufur Ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali adalah dosa-dosa yang disebut dalam al-Quran dan as-sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
Contohnya :
1)    kufur nikmat sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 16:83).
2)    Termasuk juga membunuh orang muslim, Rasulullah SAW bersabda :”Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”.
3)    Termasuk juga bersumpah dengan selain Allah, Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik”. Para pelaku dosa-dosa tersebut bukan menjadi kafir, walaupun dalam redaksi hadits disebut kafir



Tidak ada komentar:

Posting Komentar